2011/10/20

Menyelimuti diri, dalam kesendirian, tafakur di dalam kepompong

Malam mulai membayang, senja seolah menghilang, keindahan yang penuh keceriaan memudar. Kegelapan seolah menyelimuti sosok tubuh seorang lelaki. Setengah baya, sendiri, berdiri di atas bukit memandang lembah di bawahnya yang mulai memburam, diam termenung, menatap langit, jauh ke ujung sana, dimana batas yang tak berbatas. Kegelapan yang perlahan-lahan membungkus bayang-bayangnya, bahkan semakin membungkus tubuhnya. Perlahan sekali, sedikit demi sedikit tubuhnyapun seolah menyatu dengan kegelapan. Adakah dia tetap berdiri disana?. Ataukah sudah beranjak pergi mencari sudut terang di seberang sana.

Kediaman, kesendirian, kesunyian hadir disana bersama keberadaan lelaki itu. Seolah dia memang sudah berada disana sejak dahulu kala, dan mungkin akan tetap berada disana entah sampai kapan nanti. Tetap diam, dalam kesendirian, tegak terpekur menatap langit nun jauh disana. Meskipun kegelapan itu menyelimutinya, namun kesadaran seseorang yang mengamati lelaki itu, akan tetap yakin kalau dia tetap ada meskipun tidak terlihat, hilang tertutup kegelapan malam.
Kabut seolah menggantung menutupi lembah yang mulai diterangi kelap-kelip lampu rumah, semakin menebal, menutupi permukaan bumi, sementara sinar lampu yang melintas sekilas, membuktikan lelaki itu masih tetap diam terpaku disana. Malam yang semakin beranjak. Waktu yang berputar. Menyatu dalam diamnya.

Apa yang dicari lelaki itu dalam kegelapan, kesunyian yang tak henti, kebisuan tak berujung. Seolah tali tak berujung pangkal, yang menghubungkan jiwa. Ketika seluruh batas kesadaran terbuka, seolah seberkas sinar memercik bagai api yang membakar rumput kering. Aku adalah lelaki itu, dan lelaki itu adalah aku. Aku yang tengah mengembara menjelajah seluruh persada, menembus bumi, menyelusuri setiap jejak yang ada disana, menuju lereng-lereng bukit, menjelajah gunung, merengkuh puncaknya. Bermain di hijau dedauan, mencium harumnya bunga, berkejaran dengan burung, bersendau gurau dengan satwa liar. Melintas samudra, menuju dasarnya, merengkuh seluruh keindahan, memeluk ketentraman, dari setiap bagian yang ada, menjelajah alam, aku ada dimana-mana, meluas, melebar tak bertepi, menjangkau langit, menyentuh bulan, menjamah matahari, memetik bintang, mencumbu galaksi, mencapai batas yang ada, batas yang mampu terpikirkan. Duh, siapa aku?.

Aku seolah seperti laba-laba dengan jaring-jaring laba-laba yang membentang luas, atau seperti pusat gelombang ketika batu dilempar di danau yang tenang, riaknya mampu menjangkau batas terujung danau itu. Aku adalah pusat getaran yang memancarkan getaran ke seluruh semesta, aku adalah sumber suara yang menyebarkan suara ke seluruh semesta. Aku ada dimana-mana, dan sumbernya adalah lelaki yang tengah mematung di kegelapan malam itu. Satu titik pusat yang menyebarkan gelombang, menggetarkan dalam vibrasi tanpa henti, bagai gelombang demi gelombang tak terputus.

Setiap pusat getaran seolah dipancarkan oleh lelaki itu, bergetar maka aku menyebar, meluas, menjauh, menyempit, mefokus, lalu mengendap di dasarnya, dalam bagian terdalam di hatinya, di sanubarinya, di otaknya, di sel-sel tubuhnya, di seluruh bagian tubuhnya, dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Aku mengenal setiap bagian tubuhnya. aku mengetahui setiap inchi dirinya, hafal dengan kelemahan dan kekuatannya, nafsu dan emosinya. Sorot matanya, tarikan nafasnya, detak jantungnya, genggangan tangannya, keinginannya, harapannya, kekecewaannya.Seluruh bagian tubuhnya, inchi demi inchi, bahkan bagian yang tak diketahuinya sekalipun.Semua kukenal.

Seolah aku bergerak dalam diamnya, atau sebaliknya aku yang diam saat dia bergerak. Dia yang bergerak dari bayi, lalu balita, berubah menjadi kanak-kanak, bocah, lalu menjadi remaja, dan dewasa, sampai saat ini menjelang paruh baya. Aku diam mengamati perkembangannya, mengamati pertumbuhannya, mengamati seluruh perubahan yang ada di dirinya. Aku diam dalam pengamatan terhadap dirinya. Selama ini aku hanya diam mengamati, melihat, mencatat, detik demi detik perubahan itu terjadi, perubahan demi perubahan itu terjadi, aku diam dalam geraknya, aku diam dalam pengamatan.Aku yang diam diatas geraknya, diatas perubahan yang terjadi pada dirinya. Aku yang mengamati.Semua kuamati.

Aku hanya diam?, ternyata tidak, aku justru bergerak, bergerak secepat kilat, bahkan lebih cepat dari kecepatan cahaya sekalipun, aku diam tapi juga bergerak.Sebagaimana kita mengamati bumi yang seolah diam namun bergerak memutar, sebagaimana kita melihat matahari seolah berputar namun ternyata diam pada tempatnya.
Aku diam, namun ketika detik ini aku bergerak, maka kulihat dia terpaku dalam diam, dia hanyalah sosok, hanya suatu bentuk yang diam, akulah yang bergerak, meluas, melebar, aku mampu mencapai negeri manapun sebelum matamu berkedip, bahkan mencapai ujung galaksi sebelum matamu berkedip pula. Kecepatan gerakku tak terukur, mampu bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu lain, dari satu abad ke abad lain, dari satu dimensi ke dimensi lain, bahkan dari dunia ke akhirat sekalipun. Aku bebas, menjangkau apapun, memiliki apapun, mendapatkan apapun, melakukan apapun, apapun yang ku mau kudapatkan saat itu juga, apapun yang ingin kulakukan mampu kulakukan saat itu juga, segala cita-cita dan harapan atau segala yang kuinginkan akan kudapatkan sebelum kau kedipkan matamu. namun aku tak tahu arah, kemana akn kutuju? untuk apa lagi?. Itulah aku.

Maka apakah aku diam ataukah aku yang bergerak?.

Lelaki di kegelapan malam itu bergerak, aku seolah tersedot masuk ke dalam dirinya, dan aku menjadi dirinya, terikat, terpenjara dalam tubuhnya. tanganku terikat, kakiku terantai, tubuhku dibebani baju yang memberatkan. Aku terpasung di tubuh ini. aku berontak..., berteriak..., protes..., aku tak mau..., aku tak suka..., bukan tubuh seperti ini yang aku suka. Aku ingin bebas ... aku ingin merdeka.... Aku ingin tak terikat. Dua ternyata itu juga aku, seolah mata uang yang mempunyai dua sisi. Ya, aku punya dua sisi, salah satu sisiku terikat dan terbelenggu, sementara sisi lain yang bebas tidak tahu arah, tidak tahu tujuan, tak menetu tanpa arah, kebingungan, menabrak, menerjang, melakukan apa saja, tanpa keyakinan.
Sedangkan sang penunjuk arah masih terbelenggu kuat-kuat di raga ini.

Mengapa aku terpenjara, disini, di raga ini, keluhku, okelah ...kalaupun harus dalam penjara aku harus memilih, ya harus memilih penjara yang bagus, yang sesuai dengan keinginanku. Ini tidak adil, ini tidak fair, mengapa aku diletakkan disini begitu saja, aku tidak tahu apa-apa, mendadak saja sudah ada disini. Entah berapa banyak pertanyaan, keluhan..., rintihan kukatakan, tak merubah apa-apa, lalu berubah menjadi caci maki dan kemarahan, tetap tak merubah apapun aku tetap ada disini, lalu berdamai dan mengambil peranan, dalam penyesuaian menjadi doa, permohonan dan harapan. Memohon agar menjadi lebih baik namun tetap saja tak merubah apa-apa, aku tetap disini. Akupun ingin bebas, ingin terbang menjelajah alam semesta, sebagaimana salah satu sisiku yang lain, aku tahu arah tujuan kemana yang harus kutuju.

Kupandang lelaki paruh baya itu, nampak matanya meredup dalam kegelapan malam, dalam tekun perenungan, dalam dzikir, dalam puja-puji kepada Sang Pemilik Hidup, dalam kepasrahan, maka seolah rantai yang membelenggukupun terlepas, satu demi satu. Ketika satu pemahaman telah dicapainya, maka satu rantai yang membelenggupun terlepas, sehingga aku mampu menjelajah tubuh ini secara lebih leluasa. Pemahaman demi pemahaman dilakukan dan ternyata memutuskan rantai demi rantai yang mengikatku.

Berapa lama yang harus dilakukan untuk memutus ikatan ini? Aku tak tahu. Yang aku tahu lelaki itu tengah menyekap dirinya bagaiakan seekor ulat yang membungkus tubuhnya dalam serat-serat sutera yang dipintalnya menjadi kepompong. Menyepi dalam perenungan, dalam tafakur, dalam kontemplasi, memutuskan seluruh rantai yang mengikat tubuhku. Agar aku mampu bebas terbang kemana ku suka menjadi kupu-kupu yang merdeka.
........

(Maka tafakurpun dimulai, langit disibak, dalam dzikir, dalam pemahaman jiwa, ruh dan bashirah, dalam kesadaran.
Pintu gerbang telah diba, maka babak permulaanpun harus dimulai, pencerahan untuk mencapai kesempurnaan jiwa).

Sumber : http://www.forum.mankotablitar.com

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda