2011/10/18

Bertani Tanpa Kebanggaan


MENJADI petani di negeri ini identik dengan sejuta kesialan. Saat hendak menanam, petani terbentur modal dan sulit mangakses aneka sarana produksi pertanian. Kalaupun ada, harganya selangit.



Dalam hal modal,dengan alasan tidak bankable, perbankan ogah mengucurkan kredit. Saat sudah tanam, anomali iklim membuat kekeringan dan banjir jadi ajeg dan hama-penyakit meruyak. Didesak kebutuhan sehari-hari yang tak terelakkan, pada hari-hari menunggu panen petani terpaksa berhubungan dengan rentenir atau pengijon. Begitu panen, mereka tak berdaya menghadapi tengkulak yang memainkan harga seperti roller coaster.

Setelah panen merupakan hari mendebarkan karena petani menjadi konsumen dan harus membeli pangan dengan harga mahal. Ujung dari lingkaran ini: petani tak berdaya dan termarginalkan, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Logis jika petani tidak bangga disebut pak tani. Padahal, di negara lain petani itu profesi terhormat. Pemiskinan petani sebetulnya sudah lama diketahui.

Misalnya survei Patanas (2000) menemukan, 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar pertanian seperti ngojek, dagang, dan pekerja kasar.Secara evolutif,sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani merosot: dari 36,2 persen tahun 1980-an tinggal 13,6 persen. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi “masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.

Punahnya masyarakat petani sudah lama diketahui. Kajian perdesaan selama 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemui fakta getir: tenaga kerja muda di perdesaan Jawa kian langka.Yang tersisa hanya pekerja tua-renta dan tidak produktif, yang lambat responsnya terhadap perubahan dan teknologi. Kalaupun ada petani muda, mereka terpaksa bertani karena tak terserap sektor formal.

Jumlah petani di atas usia 50 tahun mencapai 75 persen, 30–49 tahun 13 persen, sisanya 12 persen berusia kurang dari 30 tahun. Krisis tenaga kerja pertanian tinggal menunggu waktu. Akhirnya, pertanian identik dengan kemiskinan, gurem dan udik, serta tidak menarik tenaga terdidik. Ini terjadi karena sektor pertanian mengalami dekstruksi sistemis di semua lini, baik di on farm, off farm maupun industri dan jasa pendukung.

Di on farm telah terjadi fragmentasi produksi dan distribusi input pertanian; degradasi sumber daya tanah, air,dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya implementasi tata ruang; dan memburuknya daya tampung dan distribusi DAS karena infrastruktur irigasi tidak pernah dibenahi. Di off farm dan jasa pendukung ditandai nihilnya dukungan bank, dicabutnya subsidi, tak fokusnya perencanaan SDM pertanian,liberalisasi kebablasan, dan tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani.

Konversi lahan-lahan pertanian produktif tanpa henti membuat investasi irigasi,jalan,dan infrastruktur muspra. Akhirnya, investasi dan teknologi, seperti introduksi varietas unggul baru, belum mampu menggenjot produksi secara signifikan. Program revitalisasi, peningkatan daya saing, peningkatan produksi petani dan kesejahteraan petani tidak hanya membentur tembok, tapi segalanya menjadi sia-sia.

Apalagi, desentralisasi dan otonomi daerah membuat Kementerian Pertanian tak selincah dulu karena tidak punya ”tangan dan kaki” di daerah. Sektor pertanian betul-betul sakaratul maut. Di bidang industri, pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa di perkotaan daripada di sektor primer (pertanian) yang jadi gantungan hidup mayoritas warga perdesaan.

Pertanian dan industri yang mustinya bersinergi lewat konsep urbanrural linkages untuk mencapai kesejahteraan bersama tidak terjadi. Sebaliknya, justru tercipa kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Jika memang pemerintah berniat mengembalikan martabat dan kebanggan petani, harus ada pembalikan arah pembangunan: dari sektor nontradable (keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.

Tanpa perubahan pilihan strategi industrialisasi dan pembangunan, mustahil kemiskinan dan pengangguran di perdesaan bisa dihapuskan. Untuk menghapus kemiskinan di perdesaan harus dilakukan pembangunan perdesaan. Dari sisi petani, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar jadi kebutuhan primer. Tidak cukup redistribusi tanah (landreform).

Selain itu, fokus pembangunan ekonomi seharusnya bukan hanya berada di pertanian atau pendalaman struktur industri, tetapi juga membangun proses industrialisasi yang mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah transformasi ekonomi yang menghasilkan pola perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia di masa datang. Kesalahan industrialisasi tanpa transformasi struktur ekonomi tidak hanya memiskinkan petani, tetapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh.

Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas pertanian Indonesia. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor ini dalam memberikan penghidupan layak bagi para petani dan tenaga kerja pertanian bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Ini akan memengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), dan bahan bakar (fuel) secara berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga dan generasi mendatang. Negara yang kuat akan tercipta jika petani kuat.

sumber : http://economy.okezone.com/read/2011/10/13/279/514588/bertani-tanpa-kebanggaan

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda