2011/05/02

cara mengatasi trauma

Suatu sore yang cerah, Tina (4) asyik bermain di luar rumah bersama pengasuhnya. Tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh suara ledakan cukup keras. Serentak keduanya menoleh ke arah suara tersebut, yang ternyata adalah ledakan kompor minyak milik pedagang mi ayam.
Beruntung api yang menyala besar itu dapat segera dipadamkan oleh si pedagang dengan bantuan beberapa tetangga. Namun sejak peristiwa itu Tina selalu ketakutan bila melihat api, termasuk api yang berasal dari kompor gas di rumah. Bocah cilik itu langsung lari menghindar.
Ya, Tina mengalami apa yang disebut trauma, bukan sekadar ketakutan biasa, jadi tingkatannya lebih tinggi dari ketakutan yang umumnya dialami anak-anak. Trauma merupakan suatu kejadian yang sangat membekas dan amat mendalam pada diri anak. Anak pernah menyaksikan, mengalami, dan merasakan langsung kejadian yang secara aktual mengerikan, menakutkan atau mungkin bahkan mengancam jiwanya. Contoh, peristiwa tabrakan, bencana alam, kebakaran, kematian seseorang, kekerasan fisik maupun seksual, pertengkaran hebat orangtua, perceraian, dan sebagainya. Bagi si prasekolah kejadian ini akan membekas dalam ingatannya dan tak mudah untuk melupakannya.
Reaksi anak pada kejadian tersebut bisa bermacam-macam. Ada yang tercenung, menangis, diam saja, dan lainnya. Selanjutnya akan timbul gejala seperti: anak menolak membicarakan peristiwa yang pernah dialaminya, menghindar dari apa yang ditakutinya, aktivitas rutinnya tiba-tiba juga berubah, takut pada orang yang mengintimidasinya, jadi susah tidur dan jika malam selalu mimpi buruk dengan terbangun dan keringatan, gampang marah, tak bisa konsentrasi, tak mau berteman, minatnya hilang, dan sebagainya. Biasanya gejala ini muncul berulang dan dalam waktu lama.

Harap dipahami, dampak trauma pada anak sungguh luar biasa. Karena bagaimanapun juga daya ingat atau memori anak bersifat menetap, sehingga bisa mengganggu tumbuh kembang dan juga caranya membangun relasi dengan orang lain serta lingkungannya sampai dewasa nanti. Ada banyak faktor yang memengaruhi proses “penyembuhan” anak dari trauma yang dialaminya, antara lain tingkat stres anak itu sendiri dan pengaruh lingkungan di sekitarnya. Jika daya tahan anak terhadap stres cukup kuat dan lingkungannya kondusif, maka proses mengatasi trauma akan lebih optimal. Jika tidak, anak akan terus terbenam dalam traumanya. Anak trauma perlu dibantu memilah mana yang baik bagi hidupnya untuk diingat dan mana pula ingatan yang tak perlu difokuskan dan sebaiknya disingkirkan.
Mengingat sulitnya mengatasi trauma ini, selain butuh bantuan lingkungan, anak juga perlu bantuan profesional dari psikolog atau mungkin psikiater.

PENANGANAN UMUM

Mengatasi trauma pada anak bukanlah proses instan, diperlukan waktu dan kesabaran dari orangtua untuk membantu anak “keluar” dari trauma yang dialaminya. Jika orangtua melihat ada gejala/ciri trauma pada anak, inilah beberapa hal yang dapat dilakukan:
* Bawalah ke psikolog untuk mencari penyebab trauma yang dialami anak. Jika sampai mengganggu sekali ada kalanya anak disarankan untuk ke psikiater guna dilakukan beberapa pengobatan secara medis.
* Terlepas dari dampak nantinya, biasanya dilakukan terapi berpikir (cognitive behavior therapy/CBT). Cara berpikir anak diubah menjadi positif. Contoh, anak yang merasa dirinya tak berharga lalu ditonjolkan kelebihan yang dimilikinya semisal dalam melukis, bermain piano, dan sebagainya.
* Menjadi anggota support group agar anak bisa berbagi dan tidak merasa sendirian mengalami trauma.
* Ajarkan teknik relaksasi maupun meditasi untuk anak agar ia lebih tenang.
* Pelan-pelan libatkan ia dalam kegiatan yang memungkinkan terjadinya pertemanan untuk saling berinteraksi atau berbagi keterampilan sosial. Kegiatan tersebut tetap harus sesuai minatnya. Terlibat dalam kegiatan membuat anak merasa dirinya berharga dan tumbuhlah rasa percaya dirinya.
* Orangtua juga perlu membekali diri dengan pengetahuan menghadapi anak yang trauma agar tidak ikut terbawa. Selain itu, bekal ini dapat membantu anak mengurangi traumanya.

KEMUNGKINAN TRAUMA DAN CARA MENGATASINYA
* Trauma Keluarga
Pertengkaran kedua orangtua yang disaksikan oleh anak ataupun peristiwa perceraian yang dialami orangtua, sehingga anak ditinggal oleh salah satu orang yang dicintainya, akan membekas secara mendalam pada ingatan anak. Dampaknya, mungkin anak jadi pendiam, tak banyak minatnya akan sesuatu, jadi gampang marah, ada rasa takut jika melihat pertengkaran orangtuanya kembali terulang, dan sebagainya.
Selanjutnya akan berdampak pada masalah sosialisasi anak. Di usia yang lebih besar lagi anak akan mengalami hambatan dalam hubungan pertemanan dengan lawan jenisnya. Mungkin anak akan menolak pertemanan yang lebih dari seorang sahabat, sulit mencintai orang lain. Ada kekhawatiran akan pernikahan dan mengalami hal yang sama seperti yang dialami kedua orangtuanya sehingga anak tak mau menikah apalagi punya anak.

Cara Mengatasi:
Yang pertama-tama harus berubah adalah orangtua.
1. Orangtua harus menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada anak atas kesalahan yang dilakukan selama ini.
2. Tidak lagi melakukan pertengkaran di depan anak.
3. Memberikan penjelasan kepada anak mengapa ayah dan ibu harus berpisah.
4. Tetap menjaga hubungan baik dengan pasangan. Rencanakan kembali bersama pasangan apa yang akan dilakukan pada anak.
5. Lakukan aktivitas kebersamaan dengan anak seperti main bola bersama, outbound, berkemah, dan sebagainya.
6. Saat anak merasa relaks dengan kedua orangtuanya, bangunlah komunikasi dengan baik. Lakukan terus-menerus.

* Trauma Kekerasan
Secara fisik akan lebih terlihat lewat tanda-tanda pada tubuh anak. Selain itu, tampak ekspresi ketakutan yang ditampilkan oleh anak. Begitu pun kekerasan secara seksual. Namun adakalanya, kekerasan seksual yang dilakukan pada anak usia ini tersamar dan tak diketahui, karena mungkin pelakunya melakukan secara “halus” semisal dengan iming-iming sesuatu sehingga anak bersedia melakukannya tanpa paksaan. Anak usia ini sudah tahu sebab-akibat. Kalau diberi sesuatu maka dia pun harus memberikan yang diminta, misalnya. Bagi anak, perlakuan tersebut dipahaminya sebagai perilaku orang dewasa di sekitarnya.
Dampak trauma dari kekerasan fisik, nantinya anak akan hidup dengan penuh ketakutan atau malah mencontoh perilaku tersebut dan melakukannya pada orang lain. Pada kekerasan seksual, anak merasa dirinya sudah tidak utuh lagi, merasa diri tak berdaya dan tak berharga. Dia akan menghargai dirinya dari benda atau hal yang bersifat materi lainnya atau dirinya merasa berharga kalau ia membiarkan dirinya teraniaya oleh orang lain. Anak mungkin akan membenci jenis kelamin yang berbeda dan bisa mencintai sesama jenis, memilih hidup sendiri, dan sebagainya. Untuk meminimalisasi dampak tersebut, maka harus diatasi sejak dini.

Cara Mengatasi:
1. Perhatikan gejala yang mungkin muncul pada anak.
2. Ajak anak bermain atau menggambar dan orangtua terlibat di dalamnya. Biasanya dalam kegiatan menggambar, anak yang mengalami kekerasan fisik akan menggambar orang dengan organ yang tak utuh semisal kaki atau tangannya buntung. Pada anak yang mengalami kekerasan seksual, gambaran pada bagian organ seksualnya dicoret-coret hitam atau digambarkan secara tak lazim semisal ukuran besar dan sebagainya. Ketika bermain boneka, anak yang mengalami kekerasan fisik akan memukul-mukul dan melakukan kekerasan pada boneka. Pada anak yang mengalami kekerasan seksual, akan menekan-nekan bagian organ kelamin bonekanya. Hal itu akan diulanginya tiap kali bermain.
3. Setelah anak merasa relaks, galilah ceritanya. Misal, tanyakan pada anak mengenai gambarnya, “Kenapa gambar kaki orang di situ buntung?” atau “Kenapa bagian alat kelaminnya dicoret-coret seperti itu?” Bisa saja lalu anak mengatakan, “Soalnya aku ini bapaknya dan marah sama anaknya.” Minta pula anak bercerita agar ia merasa tak tertekan, terpojok, dan sebagainya.
4 Konfirmasikan akan apa yang dialami anak untuk memastikan kesaksian, apakah pernyataannya bisa dibenarkan atau tidak.
5. Jika anak tak mau bercerita, jangan memaksanya. Paling tidak, bila anak menolak, orangtua tetap memperoleh data bahwa si anak memang berat menceritakan hal tersebut.
6. Anak perlu mendapat penanganan khusus dengan dibawa ke psikolog atau psikiater untuk diintervensi lebih dalam lagi.

Catatan Penting:
Sebetulnya, kekerasan seksual pada anak bisa dihindari dengan memberikan pendidikan seksual sejak dini. Lakukan dari hal yang mudah, semisal mengatakan pada anak untuk menjaga organ seksualnya, “Dek, alat kelaminmu ini merupakan hal yang pribadi dan hadiah dari Tuhan yang harus kamu jaga. Jadi, tidak ada orang lain yang boleh menyentuhnya, kecuali Bunda saja.” Selain itu, biasakan pula anak sejak dini menutup organ privatnya. Tak kalah penting bagi orangtua untuk menjaga komunikasi dan kedekatan dengan anak agar dapat memantau keadaannya demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

* Trauma Bencana Alam
Trauma akibat bencana sangat terekam dalam ingatan anak, seperti yang dialami kala tsunami. Bila mereka diminta menggambar akan tampak dari hasil karyanya berkaitan dengan air, misalnya. Dampak trauma dari bencana antara lain, anak menghindari pembicaraan yang mengarah pada peristiwa bencana, mungkin anak jadi takut keluar rumah sehingga terhambat aktivitasnya maupun sosialisasinya.

Cara Mengatasi:
1. Gali perasaan yang dialami anak lewat menggambar maupun bermain. Umpama, main kartu bergambar yang ada cerita tentang bencana yang dialami anak. Minta anak mengurutkan kartu berdasarkan cerita tersebut.
2. Undanglah teman-teman anak untuk melakukan support group sehingga anak bisa berbagi dengan teman-temannya dan tak merasa sendirian.

* Trauma Kematian
Kematian merupakan suatu konsep yang abstrak bagi anak, karena tahap perkembangannya masih praoperasional sehingga sulit mencerna peristiwa tersebut. Dampak dari trauma kematian pada setiap anak berbeda tergantung daya stres pada setiap anak. Jika kejadiannya begitu tragis dan disaksikan oleh anak, tentu akan sangat traumatik dibandingkan bila kejadian tersebut tidak menakutkannya. Dampak dari trauma kematian, bisa jadi anak akan menghindar dari pembicaraan yang mengarah pada kejadian kematian tersebut, anak jadi lebih pendiam, dan sebagainya. Perlu waktu bagi anak mengatasi trauma tersebut.

Cara Mengatasi:
1. Orangtua tak menutupi atau berbohong mengenai kejadian yang sebenarnya. Jangan sampai karena ingin menghibur anak lantas mengatakan, “Mama sedang pergi dan nanti akan kembali.” Penjelasan seperti itu menyiksa batinnya karena anak akan menunggu sia-sia.
2. Orangtua hendaknya memberikan contoh dengan tidak memperlihatkan kesedihan mendalam di hadapan anak. Tujuannya agar anak pun dapat bersikap positif.
3. Berikan contoh konkret lewat cerita-cerita fabel, semisal, “Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan itu ada batas waktu hidupnya. Seperti induk kelinci ini, lo. Ada yang usianya cuma sampai 5 tahun atau 10 tahun. Setelah itu Tuhan akan memanggilnya pulang. Begitu juga dengan Ayah. Meski Ayah tidak ada lagi bersama kita namun ia tetap ada di ingatan kita.”

Suatu sore yang cerah, Tina (4) asyik bermain di luar rumah bersama pengasuhnya. Tiba-tiba, mereka dikejutkan oleh suara ledakan cukup keras. Serentak keduanya menoleh ke arah suara tersebut, yang ternyata adalah ledakan kompor minyak milik pedagang mi ayam. Beruntung api yang menyala besar itu dapat segera dipadamkan oleh si pedagang dengan bantuan beberapa tetangga. Namun sejak peristiwa itu Tina selalu ketakutan bila melihat api, termasuk api yang berasal dari kompor gas di rumah. Bocah cilik itu langsung lari menghindar.
Ya, Tina mengalami apa yang disebut trauma, bukan sekadar ketakutan biasa, jadi tingkatannya lebih tinggi dari ketakutan yang umumnya dialami anak-anak. Trauma merupakan suatu kejadian yang sangat membekas dan amat mendalam pada diri anak. Anak pernah menyaksikan, mengalami, dan merasakan langsung kejadian yang secara aktual mengerikan, menakutkan atau mungkin bahkan mengancam jiwanya. Contoh, peristiwa tabrakan, bencana alam, kebakaran, kematian seseorang, kekerasan fisik maupun seksual, pertengkaran hebat orangtua, perceraian, dan sebagainya. Bagi si prasekolah kejadian ini akan membekas dalam ingatannya dan tak mudah untuk melupakannya.
Reaksi anak pada kejadian tersebut bisa bermacam-macam. Ada yang tercenung, menangis, diam saja, dan lainnya. Selanjutnya akan timbul gejala seperti: anak menolak membicarakan peristiwa yang pernah dialaminya, menghindar dari apa yang ditakutinya, aktivitas rutinnya tiba-tiba juga berubah, takut pada orang yang mengintimidasinya, jadi susah tidur dan jika malam selalu mimpi buruk dengan terbangun dan keringatan, gampang marah, tak bisa konsentrasi, tak mau berteman, minatnya hilang, dan sebagainya. Biasanya gejala ini muncul berulang dan dalam waktu lama
Harap dipahami, dampak trauma pada anak sungguh luar biasa. Karena bagaimanapun juga daya ingat atau memori anak bersifat menetap, sehingga bisa mengganggu tumbuh kembang dan juga caranya membangun relasi dengan orang lain serta lingkungannya sampai dewasa nanti. Ada banyak faktor yang memengaruhi proses “penyembuhan” anak dari trauma yang dialaminya, antara lain tingkat stres anak itu sendiri dan pengaruh lingkungan di sekitarnya. Jika daya tahan anak terhadap stres cukup kuat dan lingkungannya kondusif, maka proses mengatasi trauma akan lebih optimal. Jika tidak, anak akan terus terbenam dalam traumanya. Anak trauma perlu dibantu memilah mana yang baik bagi hidupnya untuk diingat dan mana pula ingatan yang tak perlu difokuskan dan sebaiknya disingkirkan.
Mengingat sulitnya mengatasi trauma ini, selain butuh bantuan lingkungan, anak juga perlu bantuan profesional dari psikolog atau mungkin psikiater.

PENANGANAN UMUM
Mengatasi trauma pada anak bukanlah proses instan, diperlukan waktu dan kesabaran dari orangtua untuk membantu anak “keluar” dari trauma yang dialaminya. Jika orangtua melihat ada gejala/ciri trauma pada anak, inilah beberapa hal yang dapat dilakukan:
* Bawalah ke psikolog untuk mencari penyebab trauma yang dialami anak. Jika sampai mengganggu sekali ada kalanya anak disarankan untuk ke psikiater guna dilakukan beberapa pengobatan secara medis.
* Terlepas dari dampak nantinya, biasanya dilakukan terapi berpikir (cognitive behavior therapy/CBT). Cara berpikir anak diubah menjadi positif. Contoh, anak yang merasa dirinya tak berharga lalu ditonjolkan kelebihan yang dimilikinya semisal dalam melukis, bermain piano, dan sebagainya.
* Menjadi anggota support group agar anak bisa berbagi dan tidak merasa sendirian mengalami trauma.
* Ajarkan teknik relaksasi maupun meditasi untuk anak agar ia lebih tenang.
* Pelan-pelan libatkan ia dalam kegiatan yang memungkinkan terjadinya pertemanan untuk saling berinteraksi atau berbagi keterampilan sosial. Kegiatan tersebut tetap harus sesuai minatnya. Terlibat dalam kegiatan membuat anak merasa dirinya berharga dan tumbuhlah rasa percaya dirinya.
* Orangtua juga perlu membekali diri dengan pengetahuan menghadapi anak yang trauma agar tidak ikut terbawa. Selain itu, bekal ini dapat membantu anak mengurangi traumanya.

KEMUNGKINAN TRAUMA DAN CARA MENGATASINYA

* Trauma Keluarga
Pertengkaran kedua orangtua yang disaksikan oleh anak ataupun peristiwa perceraian yang dialami orangtua, sehingga anak ditinggal oleh salah satu orang yang dicintainya, akan membekas secara mendalam pada ingatan anak. Dampaknya, mungkin anak jadi pendiam, tak banyak minatnya akan sesuatu, jadi gampang marah, ada rasa takut jika melihat pertengkaran orangtuanya kembali terulang, dan sebagainya.
Selanjutnya akan berdampak pada masalah sosialisasi anak. Di usia yang lebih besar lagi anak akan mengalami hambatan dalam hubungan pertemanan dengan lawan jenisnya. Mungkin anak akan menolak pertemanan yang lebih dari seorang sahabat, sulit mencintai orang lain. Ada kekhawatiran akan pernikahan dan mengalami hal yang sama seperti yang dialami kedua orangtuanya sehingga anak tak mau menikah apalagi punya anak.

Cara Mengatasi:
Yang pertama-tama harus berubah adalah orangtua
1. Orangtua harus menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada anak atas kesalahan yang dilakukan selama ini.
2. Tidak lagi melakukan pertengkaran di depan anak.
3. Memberikan penjelasan kepada anak mengapa ayah dan ibu harus berpisah.
4. Tetap menjaga hubungan baik dengan pasangan. Rencanakan kembali bersama pasangan apa yang akan dilakukan pada anak.
5. Lakukan aktivitas kebersamaan dengan anak seperti main bola bersama, outbound, berkemah, dan sebagainya.
6. Saat anak merasa relaks dengan kedua orangtuanya, bangunlah komunikasi dengan baik. Lakukan terus-menerus.

* Trauma Kekerasan
Secara fisik akan lebih terlihat lewat tanda-tanda pada tubuh anak. Selain itu, tampak ekspresi ketakutan yang ditampilkan oleh anak. Begitu pun kekerasan secara seksual. Namun adakalanya, kekerasan seksual yang dilakukan pada anak usia ini tersamar dan tak diketahui, karena mungkin pelakunya melakukan secara “halus” semisal dengan iming-iming sesuatu sehingga anak bersedia melakukannya tanpa paksaan. Anak usia ini sudah tahu sebab-akibat. Kalau diberi sesuatu maka dia pun harus memberikan yang diminta, misalnya. Bagi anak, perlakuan tersebut dipahaminya sebagai perilaku orang dewasa di sekitarnya.

Dampak trauma dari kekerasan fisik, nantinya anak akan hidup dengan penuh ketakutan atau malah mencontoh perilaku tersebut dan melakukannya pada orang lain. Pada kekerasan seksual, anak merasa dirinya sudah tidak utuh lagi, merasa diri tak berdaya dan tak berharga. Dia akan menghargai dirinya dari benda atau hal yang bersifat materi lainnya atau dirinya merasa berharga kalau ia membiarkan dirinya teraniaya oleh orang lain. Anak mungkin akan membenci jenis kelamin yang berbeda dan bisa mencintai sesama jenis, memilih hidup sendiri, dan sebagainya. Untuk meminimalisasi dampak tersebut, maka harus diatasi sejak dini.

Cara Mengatasi:
1. Perhatikan gejala yang mungkin muncul pada anak.
2. Ajak anak bermain atau menggambar dan orangtua terlibat di dalamnya. Biasanya dalam kegiatan menggambar, anak yang mengalami kekerasan fisik akan menggambar orang dengan organ yang tak utuh semisal kaki atau tangannya buntung. Pada anak yang mengalami kekerasan seksual, gambaran pada bagian organ seksualnya dicoret-coret hitam atau digambarkan secara tak lazim semisal ukuran besar dan sebagainya. Ketika bermain boneka, anak yang mengalami kekerasan fisik akan memukul-mukul dan melakukan kekerasan pada boneka. Pada anak yang mengalami kekerasan seksual, akan menekan-nekan bagian organ kelamin bonekanya. Hal itu akan diulanginya tiap kali bermain.
3. Setelah anak merasa relaks, galilah ceritanya. Misal, tanyakan pada anak mengenai gambarnya, “Kenapa gambar kaki orang di situ buntung?” atau “Kenapa bagian alat kelaminnya dicoret-coret seperti itu?” Bisa saja lalu anak mengatakan, “Soalnya aku ini bapaknya dan marah sama anaknya.” Minta pula anak bercerita agar ia merasa tak tertekan, terpojok, dan sebagainya.
4. Konfirmasikan akan apa yang dialami anak untuk memastikan kesaksian, apakah pernyataannya bisa dibenarkan atau tidak.
5. Jika anak tak mau bercerita, jangan memaksanya. Paling tidak, bila anak menolak, orangtua tetap memperoleh data bahwa si anak memang berat menceritakan hal tersebut.
6. Anak perlu mendapat penanganan khusus dengan dibawa ke psikolog atau psikiater untuk diintervensi lebih dalam lagi.

Catatan Penting:
Sebetulnya, kekerasan seksual pada anak bisa dihindari dengan memberikan pendidikan seksual sejak dini. Lakukan dari hal yang mudah, semisal mengatakan pada anak untuk menjaga organ seksualnya, “Dek, alat kelaminmu ini merupakan hal yang pribadi dan hadiah dari Tuhan yang harus kamu jaga. Jadi, tidak ada orang lain yang boleh menyentuhnya, kecuali Bunda saja.” Selain itu, biasakan pula anak sejak dini menutup organ privatnya. Tak kalah penting bagi orangtua untuk menjaga komunikasi dan kedekatan dengan anak agar dapat memantau keadaannya demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

* Trauma Bencana Alam
Trauma akibat bencana sangat terekam dalam ingatan anak, seperti yang dialami kala tsunami. Bila mereka diminta menggambar akan tampak dari hasil karyanya berkaitan dengan air, misalnya. Dampak trauma dari bencana antara lain, anak menghindari pembicaraan yang mengarah pada peristiwa bencana, mungkin anak jadi takut keluar rumah sehingga terhambat aktivitasnya maupun sosialisasinya.

Cara Mengatasi:
1. Gali perasaan yang dialami anak lewat menggambar maupun bermain. Umpama, main kartu bergambar yang ada cerita tentang bencana yang dialami anak. Minta anak mengurutkan kartu berdasarkan cerita tersebut.
2. Undanglah teman-teman anak untuk melakukan support group sehingga anak bisa berbagi dengan teman-temannya dan tak merasa sendirian.

* Trauma Kematian
Kematian merupakan suatu konsep yang abstrak bagi anak, karena tahap perkembangannya masih praoperasional sehingga sulit mencerna peristiwa tersebut. Dampak dari trauma kematian pada setiap anak berbeda tergantung daya stres pada setiap anak. Jika kejadiannya begitu tragis dan disaksikan oleh anak, tentu akan sangat traumatik dibandingkan bila kejadian tersebut tidak menakutkannya. Dampak dari trauma kematian, bisa jadi anak akan menghindar dari pembicaraan yang mengarah pada kejadian kematian tersebut, anak jadi lebih pendiam, dan sebagainya. Perlu waktu bagi anak mengatasi trauma tersebut.

Cara Mengatasi:
1. Orangtua tak menutupi atau berbohong mengenai kejadian yang sebenarnya. Jangan sampai karena ingin menghibur anak lantas mengatakan, “Mama sedang pergi dan nanti akan kembali.” Penjelasan seperti itu menyiksa batinnya karena anak akan menunggu sia-sia.
2. Orangtua hendaknya memberikan contoh dengan tidak memperlihatkan kesedihan mendalam di hadapan anak. Tujuannya agar anak pun dapat bersikap positif.
3. Berikan contoh konkret lewat cerita-cerita fabel, semisal, “Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan itu ada batas waktu hidupnya. Seperti induk kelinci ini, lo. Ada yang usianya cuma sampai 5 tahun atau 10 tahun. Setelah itu Tuhan akan memanggilnya pulang. Begitu juga dengan Ayah. Meski Ayah tidak ada lagi bersama kita namun ia tetap ada di ingatan kita.

sumber: (http://www.psikologizone.com/)

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda