2011/11/24

Uceng, Kuliner Khas Blitar

Saya bukan orang Blitar, tapi jika ditanya makanan yang selalu membuat kangen Blitar, tanpa ragu saya akan menjawab Uceng, es pleret plus soto mbok Ireng. Ya tiga makanan yang hampir selalu saya sambangi saat saya berkunjung ke Blitar, selain mencicipi es betet khas Blitar.
Mungkin uceng tak sepopuler belut, wader atau lele yang kerap dijumpai di berbagai kota. Tapi uceng khas Blitar ini yang mengenalkan ikan kali lebih dari sekedar kudapan bergizi. Kali pertama saya mengenal uceng saat mampir ke warung Anda di daerah Bence, Garum. Warung yang sering saya singgahi saat perjalanan pulang ke Malang ini menyediakan masakan rumahan dengan menu andalan uceng dan udang sungai yang dimakan bersama nasi, sayur atau hanya sebagai cemilan saja.

Harga per porsinya saat itu sekitar Rp15 ribu, entah jika sekarang mengalami kenaikan. Uceng sering kali disajikan dalam kondisi panas, agar lebih nikmat disantap. Kadang jika ingin dibawa pulang, uceng yang dibungkus mika plastik ini terasa masih hangat bahkan jika membungkusnya tak terlalu rapat, uceng tetap terasa renyah sampai beberapa hari.
Selain di warung Anda, uceng juga menjadi menu utama di warung Sukaria yang terletak di Wlingi. Kabarnya, warung Sukaria ini yang kali pertama menjual uceng di kota Blitar. Jadi tak heran saat saya mampir ke sana, warung Sukaria yang didirikan Haji Sukaria ini lebih dikenal orang dibanding warung uceng lainnya.

Seperti halnya warung Anda, warung uceng Sukaria juga menyajikan uceng sebagai menu andalan yang dimasak goreng sebagai lalapan atau kuah sebagai sayur. Saya hanya sempat mencoba lalapan uceng, karena saya rasa uceng lebih enak disantap kering. Meski bisa jadi penilaian saya salah, toh banyak juga pelanggan yang membeli sayur uceng.

Bagi beberapa orang uceng warung Sukari berasa lebih gurih, lebih awet meski tidak dihangatkan selama 1 minggu lebih. Tapi beberapa yang lainnya menganggap uceng warung Sukari terasa lebih amis. Entah mana yang lebih dominan, mengingat setiap orang punya selera yang berbeda.

Saya tak ingin membahas selera, saya lebih suka menyoroti uceng, ikan kecil yang dipanen dari kali Lekso yang airnya masih jernih dan mengalir deras dari gunung Kelud. Uceng hanya bisa hidup di air bening tanpa terkontaminasi limbah, karena itu menyantap uceng bagi saya adalah sebuah nilai plus, mengingat saat ini minim sekali kudapan yang masih mengandalkan sumber daya alam yang sehat.

Uceng juga termasuk ikan imut, dengan ukuran kira-kira sebesar dr fish, tanpa sisik dan bentuknya bulat memanjang. Cara menangkapnya pun masih tradisional dengan menggunakan bubu yang ditenggelamkan ke sungai dan diambil saat uceng sudah memenuhi isi bubu. Banyak sekali pertanyaan di benak saya, kenapa uceng yang sangat populer di Blitar masih menggunakan cara tradisional, padahal tenaga dan hasil yang didapat juga tidak maksimal. Bisa jadi sudah ada yang pernah memikirkan budidaya uceng tanpa merusak ekosistem sungai dan bisa jadi juga gagal karena harus menggeser SDM yang butuh duit.

Saya belum berpikir ke arah sana, karena saat itu yang ada di benak saya adalah makan uceng dan melihat proses memasak uceng di dapur warung Sukaria yang memang tak memasang sekat antara ruang makan dan tempat mengolahnya. Jadi saya bisa melihat para pegawai menggoreng uceng dan menempatkannya di baskom-baskom ukuran besar, mengepaknya ke dalam plastik dan kardus untuk pemesan yang akan membawanya ke luar kota.


Proses pembuatan dan penjualannya memang cukup simple, tapi daya tariknya si kecil uceng ini cukup menarik minat banyak orang entah dari Blitar maupun pengunjung dari kota lain. Ya bagi saya, tak ada yang lebih nikmat jalan-jalan ke Blitar tanpa nyemil uceng dan minum es pleret. Hmmm…..mendadak saya kangen Blitar.

Sumber : http://bazzcethol.com

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda